Makalah Pendidikan Islam Inklusif - Multikultural dan Radikalisme
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dimaklumi
secara luas, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas
penduduk Indonesia. Dengan demikian, Islam sebenarnya berpeluang besar
dalam mempengaruhi tata hidup kemasyarakatan dan kebangsaan di tanah
air. Menyadari hal itu, A. Syafi’i Ma’arif menegaskan bahwa sebagai penduduk mayoritas
semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan,
dan kemanusiaan. Ketiga konsep ini haruslah ditempatkan dalam satu nafas
sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang
ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalahmasalah
besar bangsa dan negara.1Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan corak Islam
Indonesia yang diwarnai oleh unsur-unsur lokal dan global yang memang tak bisa
terhindarkan, sepanjang tidak larut dan hanyut dalam unsur-unsur lokal yang negatif
dan terbelakang, serta tidak terseret oleh arus global yang mengundang malapetaka
umat Islam Indonesia.
Indonesia
adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia.
Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas.1 Indonesia terdiri dari 17.504 pulau.
Sekitar 11 ribu pulau dihuni oleh penduduk dengan 359 suku dan 726 bahasa.
Mengacu pada PNPS no. 1 tahun 1969—yang baru saja dipertahankan Mahkamah
Konstitusi—Indonesia memiliki lima agama. Di bawah pemerintahan KH.
Abdurrahman Wahid, Konghucu menjadi agama keenam. Meski hanya enam, di
dalam masing-masing agama tersebut terdiri dari berbagai aliran dalam bentuk
organisasi sosial. Begitu juga ratusan aliran kepercayaan hidup dan berkembang
di Indonesia. Apabila dapat dikelola secara baik, kemajemukan sejatinya
merupakan modal sosial yang amat berharga bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya,
jika tidak dapat dikelola secara baik, maka kemajemukan berpotensi menimbulkan
konflik dan gesekan-gesekan sosial. Sepertinya Indonesia merupakan negara yang
belum mampu mengelola kemajemukan dengan baik. Terutama pasca tumbangnya rezim Orde
Baru, aksi terorisme dan radikalisme Islam merebak di Indonesia. Dalam kurun
waktu tidak lebih dari satu dekade, bom silih berganti mengguncang republik
pluralis ini. Sebut saja misalnya bom Bali I, bom Bali II, bom Kedutaan Besar
Australia, bom Hotel JW Marriot I, bom Hotel JW Marriot II, bom Hotel Ritz
Carlton, “bom buku” yang ditujukan ke sejumlah tokoh, “bom Jum’at” di masjid
Mapolres Cirebon, dan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS)
Kepunton, Solo.
Banyaknya
konflik yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa bangsa ini belum memahami
arti keragaman dan perbedaan. Tidak sedikit di antara manusia yang hendak
meniadakan kebhinekaan (plurality) dan menggantinya dengan ketunggalan
dan keseragaman (uniformity). Ironisnya,
para teroris dan kaum radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena
perintah agama (Islam). Maraknya aksi radikalisme
dan terorisme atas nama Islam di dunia maupun
Indonesia sedikit banyak telah menempatkan umat Islam sebagai pihak yang
dipersalahkan. Ajaran jihad dalam Islam seringkali dijadikan sasaran tuduhan
sebagai sumber utama terjadinya kekerasan atas nama agama oleh umat Islam.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia semisal madrasah ataupun pondok
pesantren, juga tidak lepas dari tuduhan yang memojokkan tersebut. Lembaga
pendidikan Islam tertua dalam sejarah Indonesia ini seringkali diasosiasikan
sebagai ‘markas atau sentral pemahaman Islam yang sangat fundamental’ yang
kemudian menjadi akar bagi gerakan radikal mengatasnamakan Islam.
Pendidikan
dan lembaga pendidikan sangat berpeluang menjadi penyebar
benih radikalisme dan sekaligus penangkal (baca: deradikalisasi) Islam radikal.
Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya lembaga
pendidikan Islam tertentu (terutama yang nonformal, seperti pesantren) telah
mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik sehingga
tokoh sekaliber Jusuf Kalla misalnya, sempat melontarkan ide pengambilan sidik
jari dari semua santri. Sejalan dengan menjamurnya
ormas-ormas Islam pasca reformasi, pendidikan (tarbiyah) dianggap pintu
efektif bagi penyebaran dakwah Islam. Kini, lahir ribuan pendidikan Islam
terpadu (jenjang PAUD, TK hingga SLTA) yang didirikan oleh ormas-ormas Islam
tertentu dari berbagai jenjang pendidikan. Ormas-ormas Islam itu memiliki ciri
keagamaan yang mereka anut adalah: (1) Khas Islam Timur Tengah; (2) Leterlek
dan harfiah dalam memahami Islam; (3) Mengenalkan istilahistilah baru yang
bernuansa Arab seperti halaqah, dawrah, mabit dan seterusnya. Siswa/siswi
sekolah menengah atas (SMA/SMK) digarap serius oleh ormasormas Islam yang
bercirikan seperti di atas. Moment dawrah, halaqah dan mabit
di satu sisi sangat positif dan membantu kerja guru agama untuk menanam akidah
dan syariat Islam. Namun di sisi lain, model Islam yang diajarkan cenderung
mendorong peserta didik untuk tidak toleran terhadap pihak lain.
Maraknya
aksi radikalisme dan terorisme atas nama Islam di dunia maupun
Indonesia sedikit banyak telah menempatkan umat Islam sebagai pihak yang
dipersalahkan. Ajaran jihad dalam Islam seringkali dijadikan sasaran tuduhan
sebagai sumber utama terjadinya kekerasan atas nama agama oleh umat Islam.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia semisal madrasah ataupun pondok
pesantren, juga tidak lepas dari tuduhan yang memojokkan tersebut. Lembaga
pendidikan Islam tertua dalam sejarah Indonesia ini seringkali diasosiasikan
sebagai ‘markas atau sentral pemahaman Islam yang sangat fundamental’ yang
kemudian menjadi akar bagi gerakan radikal mengatasnamakan Islam. Meskipun faktor kemunculan terorisme dan juga radikalisme Islam
sangatlah
kompleks, namun merebaknya fenomena tersebut dapat menjadi cermin PAI di
negeri ini. Harus diakui bahwa praktik pendidikan agama (Islam) selama ini
lebih
bercorak eksklusivistik ketimbang inklusivistik. Artinya, pengajaran pendidikan
agama (Islam) lebih menonjolkan pada klaim kebenaran agama sendiri dan
menganggap agamanya sebagai satu-satunya jalan keselamatan (salvation and
truth claim) serta menganggap agama orang lain keliru dan
menganggapnya tidak akan selamat.
Oleh
karena itu, deradikalisasi pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan. Upaya
deradikalisasi pendidikan Islam dalam rangka membangun kesadaran
inklusif-multikultural untuk meminimalisir radikalisme Islam perlu menjadi
kajian yang mendalam bagi para ahli dan praktisi pendidikan
Islam di Indonesia.
Dan untuk itu sangat diperlukan gerakan review
kurikulum di berbagai tingkatan pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan,
sikap dan tindakan anti radikalisasi agama ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Itu Pendidikan Islam inklusif Multikultural
?
2.
Apa
itu Radikalisme ?
3.
Bagaiman
Cara Deradikalisasi Melalui Pendidikan Islam Inklusif Multikultral ?
4.
Apa
format ideal pendidikan islam inklusif multikultural ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mahasiswa
dapat mengerti pengertian pendidikan islam multikultural
2.
Mahasiswa
dapat memahami pengertian dan arti radikalsime
3.
Mahasiswa
dapat mengetahui langkah-langkah deradikalisasi
melalui pendidikan islam inklusif multikultural
4.
Mahasiswa
dapat mengetahui format ideal pendidikan islam inklusif multikultural
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Islam Multikultural
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Berbicara tentang pengertian pendidikan Islam, para ahli
Pendidikan Islam berbeda pendapat tentang asal kata Pendidikan Islam. Dalam hal
ini, ada tiga term yang berkaitan langsung dengan Pendidikan Islam, yakni tarbiyah,
ta’dib, dan ta’lim. Secara singkat, istilah tarbiyah berasal
dari akar kata rabb, yang dapat
diartikan dengan tumbuh, berkembang, memelihara, merawat,
mengatur dan menjaga kelestarian atas eksistensinya. Sedangkan
istilah ta’lim berasal dari akar kata allama yang bearti
mengajarkan. Istilah ta’dib sendiri berasal dari akar kata addaba yang
berarti mendidik. Dari ketiga term tersebut,
dapat kita pahami bahwa hakekat Pendidikan Islam adalah
menjadikan manusia menjadi lebih baik. Baik itu melalui proses
mengembangkan, merawat, mengatur, mendidik, mengajar dan sebagainya. Hal ini
sangat wajar, mengingat islam diturunkan kedunia ini untuk di jadikan pedoman
hidup manusia, supaya manusia selamat di dunia dan akherat. Sehingga untuk
mampu merealisasikan tujuan tersebut, diperlukan seperangkat proses sistemik
yang kemudian disebut pendidikan.
Secara terminologi, Pendidikan Islam mempunyai bayak definisi,
sesuai dengan sudut pandang dan subyektifitas yang mendefinisikannya. Berikut ini
beberapa definisi Pendidikan Islam menurut para ahli:
a.
Al
Ghazali
Pendidikan
Islam menurut Al Ghozali merupakan ibadah dan upaya meningkatkan kualitas diri.
Selain itu, harus mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akherat.
b. Ahmad
Tafsir
Tafsir
mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.
c.
Samsul
Nizar
Menurut
Nizar Pendidikan Islam adalah suatu sistem yang
memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai
dengan ideologi Islam.
d.
Achmadi
Menurutnya
Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam.
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
islam sebuah sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh
manusia. Sistem kependidikan ini kemudian dipahami dan dikembangkan berdasarkan
nilai-nilai fundamental ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan hadis dan diwujudkan
dalam bentuk pemikiran dan teori-teori pendidikan.
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam
Pendidikan Islam, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir. Tujan akhir,
biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti kedewasaan, insan
kamil, manusia seutuhnya atau kebahagiaan dunia dan akhirat.7 Pencapaian
suasana
ideal tersebut tidak hanya merujuk pada tujuan akhir saja, karena tujuan
tersebut terlalu ideal dan belum memberikan suatu gambaran makna yang jelas,
sangat normatif dan tidak operatif. Sehingga diperlukan penjabaran yang lebih
rinci
ke dalam bagian-bagian tertentu. Penjabaran tersebut sering disebut dengan
tujuan khusus. Menurut Hery Nor Aly dan Mundir Suparta, tujuan Pendidikan Islam
dibedakan menjadi dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum,
Pendidian Islam adalah mendidik individu mukmin agar tunduk, bertaqwa dan
beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagian di dunia
dan akherat.
Sedangkan tujuan khusus dari pendidikan Islam adalah
sebagai berikut.
a.
Mendidik
individu yang saleh dengan memperhatikan segenap dimensi perkembangannnya:
rohani, emosional, sosiual, inteklektual dan fisik.
b.
Mendidik
anggota sosial yang saleh, baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim.
c.
Mendidik
manusia yang saleh bagi masyarakat yang besar.
Ahmad
Tafsir mengklasifikasikan tujuan pendidikan Islam menjadi tiga kategori, yaitu:
a.
Tujuan
yang berkaitan dengan individu, jasmani, dan rohani
serta kemampuan–kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan akhirat.
b.
Tujuan
yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku individu dalam masyarakat,
perubahan kehidupam masyarakat dan pengkayaan pengalaman masyarakat.
c.
Tujuan
profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai
seni, sebagai profesi dan sebagai aktifitas di antara aktifitas-aktifitas
masyarakat.
Sementara
Samsul Nizar menekankan bahwa tujuan Pendidikan Islam harus mencakup dua hal:
a.
Dimensi
dialektika horisontal, yakni mampu mampu mengembangkan
realitas kehidupan, baik yang menyangkut dengan dirinya, masyarakat maupun alam
semesta beserta isinya.
b.
Dimensi
ketertundukan vertikal, yakni mengisyaratkan selain sebagai alat untuk
memelihara, memanfaatkan, dan melestarikan sumber daya alami, juga hendaknya
menjadi jembatan untuk memahami fenomena dan misteri kehidupan dalam upaya
mencapai hubungan yang abadi dengan kholiqnya.
Dari bebepa paparan tentang tujuan Pendidikan Islam di atas,
dapat kita simpulkan bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah membangun
manusia yang sesuai dengan fitrahnya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai
khalifah. Di sini dapat kita tegaskan bahwa selain untuk mampu mendekatkan diri
kepada
sang khaliq, manusia yang sempurna juga mampu berhadapan dengan realitas
kehidupan, serta menebarkan cinta kasih kepada seluruh alam. mempunyai
kesalehan individu, tapi juga mempunyai kesalehan sosial. Keadilan, perdamaian,
persamaan dan kemanusiaan yang kemudian tercermin dalam term “rahmatan li al
alamin” adalah bagian penting yang harus diwujudkan Pendidikan Islam.
3. Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam
Multikulturalisme
merupakan sebuah paham tentang realitas
masyarakat yang beragam. Yang mana multikulturaliasme adalah sebuah respon dari
sebuah fakta sosial yang beragam dan plural, sehingga keteraturan hidup yang
humanis, demokratis dan berkeadilan akhirnya dapat di capai. Pendidikan
Islam, sebagaimana telah di jelaskan di atas, mendasarkan konsep dan
karakteristiknya pada nilai-nilai islam. Untuk melihat bagaimana pendidikan
Islam berbicara tentang multikulturalisme, maka kita harus mengkaji terlebih
dahulu,
bagaimana Islam memandang multikulturalisme. Dari sini akan kita dapatkan
sebuah kesimpulan multikulturalisme dalam agama Islam, yang nantinya dapat kita
generalisasikan kepada pendidikan Islam.
Sejak
awal, Islam turun ke dunia untuk tujuan kemanusian. Islam secara tegas dan
jelas menyatakan bahwa Islam diturunkan untuk semesta alam. Artinya Islam lahir
bukan semata–mata untuk umat Islam saja, tetapi semangat universalitas Islam
sudah ditampakkan. Hal ini dapat kita lihat dari firman Allah tentang
tujuan keterutusan Rasulullah, yang artinya tujuan diturunkannya Islam, yang
kemudian kita kenal denga tujuan risalah. Semangat
multikulturalisme dalam Islam sangat terlihat jelas pada zaman Rosulullah. Di
madinah, Rasulullah melakukan sebuah tansformasi sosial, di mana seluruh
masyarakatnya hidup
secara damai. Padahal saat itu masyarakat Madinah sangatlah plural, baik dalam
agama, suku, bani maupun nasab. Konsep hidup bersama secara damai tersebut
merupakan manifestasi dari kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Piagam
Madinah”.
Jika
Islam secara tegas menghargai keragaman manusia dan multikulturalisme, maka
demikian juga dengan Pendidikan Islam, yang mempunyai dasar Islam, yakni Alqur
an dan Sunnah. Serta tujuan yang sama dengan tujuan risalah Islam. Sebagaimana
telah diungkapkan di depan, bahwa tujuan Islam berbanding lurus dengan tujuan
Pendidikan Islam. Pendidikan Islam pada dasarnya sangat mendukung semangat
multikulturalisme. Hal ini didasari akan realitas masyarakat Islam yang terdiri
berbagai kultur, bahasa, ras dan lainnya. Sehingga multikulturalisme nantinya
akan menjembatani tercapainya tujuan Pendidikan Islam.
Di
samping itu, Pendidikan Islam juga memahami bahwa masyarakat muslim juga hidup
berdampingan dengan masyarakat lain yang beragam. Di sini Pendidikan
Multikultural nantinya mampu menjadi bekal bagi output Pendidikan Islam untuk
mampu hidup bersama dalam realitas masyarakat yang plural secara damai dan
beerkeadilan. Sudah selayaknya individu muslim menjadi “sponsor” terwujudkan
toleransi antara keragaman budaya demi terciptanya masyarakat yang damai,
sesuai tujuan Islam.
B.
Memahami Radikalisme
1.
Pengertian
Radikalisme
Perkataan radikal berasal dari bahasa latin “radix”
yang artinya akar.
Dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim,
menyeluruh, fanatik,
revolusioner, ultra dan fundamental. Sedangkan radicalism artinya
doktrin atau
praktik penganut paham radikal atau paham ekstrim. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
radikalisme diartikan sebagai “paham atau aliran yang menginginkan perubahan
dengan cara keras atau drastis.”15 Sementara Sartono Kartodirdjo mengartikan
radikalisme sebagai “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib
sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat
untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan
yang berkuasa.”16 Dengan demikian, radikalisme merupakan gejala umum yang bisa
terjadi dalam suatu masyarakat dengan
motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan
keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang
dihadapi.
Atau dapat didefinisikan sebagai pengimplementasian
faham dan nilai ajaran agama (Islam) dengan cara radikal (keras), fanatik,
ekstrim atau mendasar. Namun perlu dicatat juga bahwa radikalisme faham
keberagamaan tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan yang bersifat
anarkis. Dalam realita memang dapat ditemui bahwa sebagian kelompok gerakan
radikal keagamaan hanya terbatas pada pemikiran dan ideologi, dan tidak
menggunakan cara-cara kekerasan dalam melaksanakan faham ajarannya, tetapi
sebagian kelompok radikal yang lain menghalalkan cara-cara kekerasan dalam
memperjuangkan faham keagamaannya. Karena itu, gerakan radikalisme keagamaan
tidak selalu ditandai dengan anarkisme atau terorisme.
2.
Ciri-Ciri Radikalisme
Lebih
detil, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme Islam yaitu :
1.
menjadikan
Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan
individual dan juga politik ketata negaraan.
2.
nilai-nilai
Islam yang dianut mengadopsi sumbernya–di Timur Tengah–secara apa adanya tanpa
mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Qur’an dan hadits
hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.
3.
karena
perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur’an dan hadits, maka purifikasi ini
sangat berhatihati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur
Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri
Islam dengan bid’ah.
4.
menolak
ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat,
seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan
yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadits.
5.
gerakan
kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah.
Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan
kelompok lain, termasuk pemerintah.
Dalam
tataran kehidupan berbangsa dan bernegara gerakan radikalisme
memang tampak cukup merepotkan para penguasa, terutama karena beberapa alasan:
1.
gerakan
radikalisme sering dinilai sebagai gerakan yang berkepentingan
untuk membangun dan mewarnai dasar ideologi negara dengan faham ideologinya
secara murni, atau mengganti ideologi negara yang sudah mapan dengan ideologi
kelompok gerakan radikal tersebut, tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi
kelompok lain yang berbeda dengannya.
2.
gerakan
radikalisme dianggap membawa instabilitas sosial, keresahan
sosial, terutama karena sifat gerakan tersebut yang militan, keras, tegas,
hitam putih, tidak menyerah dan tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang
cenderung anarkis dan merusak. Di samping itu gerakan radikalisme tersebut juga
dipandang tidak mau kompromi serta tidak toleran terhadap kepentingan kelompok
lain.
3.
dampak
dari gerakan radikalisme baik secara langsung maupun tidak
langsung dipandang dapat mengancam eksistensi kedudukan para elit penguasa,
terutama karena pengaruh agitasi ideologi dan provokasi gerakan radikal yang
meluas dalam masyarakat dapat menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap
rezim penguasa tersebut, yang pada gilirannya dapat melahirkan pembangkangan. dan revolusi sosial yang akan meruntuhkan singgasana rezim
penguasa. Karena itu tidaklah mengherankan apabila siapa pun rezim penguasa di
sebuah negara akan
berusaha semaksimal mungkin untuk mengeliminasi, menjinakkan, meredam atau
menangkal berkembangnya gerakan radikalisme.
3. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang
muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor
pendorong munculnya gerakan radikalisme. Faktor-faktor tersebut yaitu:
1. Faktor-faktor Sosial-Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat
dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang
secara salah kaprah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih
tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam
kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Dalam hal ini kaum
radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh
peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang
mendominasi.Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum
radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk
mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak
selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka
berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis.
2.
Faktor Emosi Keagamaan
Harus diakui bahwa salah satu penyebab
gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya
adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu.
Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan
bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu
mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama.
3.
Faktor Kultural
Yang
dimaksud faktor
kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya
Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus
dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat
dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat
sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia yang telah
dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan
muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.
4.
Faktor Ideologis Anti Westernisme
Westernisme merupakan suatu pemikiran
yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga
simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at Islam. Walaupun
motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan
keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru
menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam
budaya dan peradaban
5. Faktor Kebijakan Pemerintah
Ketidakmampuan pemerintahan di
negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya
frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi,
militer maupun ekonomi dari negera-negara besar.
Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim
belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak
kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang
dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu
memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan
yang dilakukan oleh umat Islam.
Propaganda-propaganda lewat pers memang
memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian
“ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada
komunitas Muslim.
4.
Penyebab Munculnya Radikalisme
Sementara untuk penyebab akut munculnya radikalisme yang
diperoleh dari berbagai sumber yaitu:
1.
Pendidikan Rendah
Acapkali generasi muda
tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mencari jalan alternatif
penyelesaian suatu masalah selain bertindak radikal ataupun melakukan aksi-aksi
ekstrim. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang dengan latar
pendidikan tinggi hingga bergelar doktor sekalipun dapat menjadi salah seorang
aktor intelektual dibalik penyebaran ajran radikal dan terorisme.
2.
Krisis Identitas
Secara umum, target
perekrutan anggota kelompok radikal ataupun ekstrimisme acapkali berasal dari
kelompok generasi muda yang masih dalam tahap pencaharian jati diri. Dalam
proses perekrutan, generasi muda sangat rentan terhadap tekanan kelompok dan
juga membutuhkan sebuah panutan hidup. Tekanan kelompok dilakukan dengan adanya
perekrutan dan seleksi oleh organisasi radikal berkedok kelompok keagamaan dan
forum studi yang terbatas
3.
Minimnya Kondisi Ekonomi
Keadaan ekonomi yang
kurang memadai disertai dengan sikap apatis terhadap kondisi kehidupan
lingkungan sekitar, dapat dianggap menjadi salah satu faktor penyebab untuk
menarik generasi muda dalam melakukan tindakan radikal. Dengan keadaan
tersebut, penghancuran terhadap dirinya dan orang lain dianggap sebagai suatu
hal yang wajar, karena materi yang saat ini tidak diperoleh akan digantikan
dengan kenikmatan akhirat sebagai imbalannya melakukan perjuangan dan
pengorbnannya setelah mati syahid.
4.
Primordialisme dan Etnosentrisme
Rasa kebersamaan antara sesama umat dalam satu agama
acapkali membangun sebuah tali persaudaraan yang kuat yang melintasi perbedaan
suku, budaya, negara, dan geografis. Rasa solidaritas yang tinggi tersebut
menciptakan suatu tali batin dan rasa empati yang mendalam. Seperti halnya
apabila ada sekelompok umat yang merasa di tindas oleh pemerintah atau agama
lain, dapat menjadi faktor pembangkit semangat kelompok radikal dan terorisme
untuk bergerak seakan membantu kelompok-kelompok yang mengalami tindak
penindasan.
5.
Keterasingan secara Sosial dan Budaya
Adanya rasa keterasingan
di lingkungan dan jarak diantara masyarakat umum dengan hubungan anggota
radikal merupakan salah satu penyebab yang membuat generasi mudah rentan
bergabung dengan organisasi radikal. Sehingga, dengan adanya rasa keterasingan
dan jarak tersebut, kelompok terorisme yang tidak merasa menjadi bagian
dimasyarakat akan merasa tidak memiliki hubungan emosional dan terikat terhadap
masyarakat disekelilingnya. Tak ayal sebuah kelompok radikal seringkali
melakukan aktifitas penghancuran terhadap fasilitas umum dan memakan korban
rakyat sipil.
Terkadang, radikalisme juga
diidentikkan dengan problem terorisme.
Sehingga, tuduhan pelaku teror kepada warga Negara sering ditujukan kepada
mereka yang dianggap radikal. Padahal, secara konseptual hal tersebut masih
berada dalam perdebatan. Menurut Kepala Badan Penanggulan Teroris (BNPT) ini, ideologi radikal adalah penyebab dari maraknya aksi teror di
Indonesia, sehingga pencegahan terorisme harus diikuti oleh pemberantasan
radikalisme. Secara spesifik, Mbai melihat adanya ideologi tersebut dalam
perilaku teror di masyarakat sejak tahun 2000-an. Sebetulnya
ada beberapa cara pandang sebagai alat untuk melacak akar radikalisme Islam di
Indonesia.
C.
Deradikalisasi Melalui Pendidikan Islam Multikultural
Menanggulangi
terorisme dan radikalisme Islam bukanlah perkara yang
mudah. Sebab, terorisme dan radikalisme Islam bukan semata-mata gerakan sosial belaka,
namun juga merupakan ideologi. Ideologi tidak mungkin dapat dibasmi
hanya dengan pendekatan militer/keamanan saja. Masih banyaknya aksi terorisme
di bumi Indonesia merupakan bukti konkrit betapa penggunaan pendekatan militer
keamanan saja tidak cukup efektif untuk membasmi terorisme dan radikalisme
Islam hingga akar-akarnya.
Oleh
karena itu, berbagai pendekatan penanganan terorisme dan
radikalisme Islam lainnya harus pula senantiasa diupayakan. Salah satunya
adalah
dengan program deradikalisasi melalui pendidikan Islam bernuansa
inklusifmultikultural. Deradikalisasi adalah upaya sistematis untuk membangun
kesadaran masyarakat bahwa fanatisme sempit, fundamentalisme, dan radikalisme
berpotensi membangkitkan terorisme. Deradikalisasi dapat pula dipahami sebagai
segala upaya untuk menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan
interdisipliner, seperti agama, psikologi, hukum serta sosiologi, yang
ditujukan bagi mereka yang dipengaruhi faham radikal.31 Sebagai rangkaian
program yang berkelanjutan, deradikalisasi ini meliputi banyak program yang
terdiri dari reorientasi motivasi, reedukasi, resosialisasi, serta mengupayakan
kesejahteraan sosial dan kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang
terlibat dengan tindak pidana terorisme (para terpidana tindak pidana
terorisme).
Dalam
konteks ini, pendidikan agama (Islam) sebagai media penyadaran
umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola keberagamaan
berbasis inklusivisme, pluralis dan multikultural, sehingga pada akhirnya dalam
kehidupan masyarakat tumbuh pemahaman keagamaan yang toleran, inklusif dan
berwawasan multikultur. Hal ini penting sebab dengan tertanamnya kesadaran
demikian, sampai batas tertentu akan menghasilkan corak paradigma beragama
yang hanif. Ini semua mesti dikerjakan pada level bagaimana membawa
pendidikan
agama dalam paradigma yang toleran dan inklusif. Filosofi
pendidikan agama yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima
kebenaran agama lain, perlu dikritisi untuk selanjutnya dibenahi dan dilakukan
reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim non-muslim, dan truth claim yang
sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat pada agama. lain, semestinya “dibongkar” agar umat tidak lagi menganggap agama
lain sebagai agama yang salah dan bukan jalan memperoleh keselamatan. Jika ini
yang terjadi, tanpa ragu lagi dan pasti akan merusak harmonisasi agama dan
menghilangkan sikap saling menghargai, sehingga pada gilirannya sangat rentan
konflik.
Demikian
pula, guru-guru agama di sekolah, sebagai ujung tombak pendidikan agama dari
Taman Kanak-Kanak sampai dengan SLTA–bahkan perguruan tinggi nyaris tidak
tersentuh oleh gelombang pergumulan dan diskursus pemikiran keagamaan di
seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama. Padahal guru-guru inilah yang menjadi mediator
pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi, pluralisme dan multikultural
pada siswa, yang pada tahapan selanjutnya ikut berperan aktif dalam
mentransformasikan kesadaran toleran secara lebih intens. Sejalan
dengan tanggungjawab tersebut, Abdullah menggarisbawahi lima tugas utama
pendidikan (agama) Islam, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI),
dalam menghadapi keragaman agama, yaitu:
1.
mengenalkan
isuisu kontemporer yang dihadapi umat Islam, bersamaan dengan upaya menjelaskan
ajaran Islam klasik
2.
mengarahkan
tujuan utama Islam pada pemecahan permasalahan mengenai hubungan antar manusia
3.
mengkontekstualisasikan
Islam
4.
mengkritisi
penekanan pendidikan agama hanya pada domain kognitif,
dan
5.
mendedikasikan
Islam tidak semata-mata untuk pengembangan moralitas
individu, melainkan juga moralitas publik.
Salah
satu sasaran tujuan dari tugas utama tersebut adalah pendidikan agama
bisa membekali peserta didik kecakapan hidup (life skill) berupa
kemampuan untuk menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dalam sepanjang
kehidupannya di tengah realitas masyarakat yang plural. Konsekuensinya,
pendidikan agama perlu menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching
about religion) yang melibatkan pendekatan kesejarahan dan pendekatan
perbandingan. Hal ini bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik mengenai
aspek universal dan partikular ajaran agamanya. Disamping itu, pendekatan
tersebut bermanfaat juga untuk mengatasi kurangnya perhatian selama ini
terhadap upaya mempelajari agama-agama lain dan kurangnya penanaman nilai-nilai
moral yang mendukung kerukunan antar umat beragama lantaran sikap overprotective
sehingga kecurigaan tetap mewarnai cara pandang antar penganut agama.
Karena
itu, dengan meminjam filsafat pendidikan yang dikembangkan Paulo
Freire yang menegaskan bahwa pendidikan harus difungsikan untuk pembebasan
(liberation) dan bukan penguasaan (domination) maka pendidikan
harus menjadi
proses pemerdekaan, bukan domestikasi dan bukan penjinakan sosial budaya
(social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap
realitas
manusia sehingga secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi
total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah realitas yang menindas sekaligus
secara bersamaan dan terus menerus berusaha menumbuhkan kesadaran akan realitas
dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas tersebut.
Dengan
perspektif ini, maka kini kita mesti melakukan pembebasan terhadap
pendidikan agama yang selama ini dilakukan, dengan memberi warna yang lebih
menekankan dimensi inklusivitas. Dalam kondisi demikian, yang perlu dilakukan
adalah melakukan reorientasi visi pendidikan agama (Islam) yang berbasis
eksklusifmonolitis ke arah penguatan visi inklusif-multikulturalis. Hal ini
dilakukan karena telah terjadi kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi
dan pluralitas dalam pendidikan agama, yang pada gilirannya telah
menumbuhsuburkan gerakan radikalisme agama. Hal inilah yang mesti kita
renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan benih-benih
konflik antar agama.
Karena
itu, kebijakan pendidikan yang mengeliminasi arti signifikan
keanekaragaman dan kemajemukan agama, perlu diantisipasi bersama, sehingga
dalam merancang sistem pendidikan tidak hanya mengandalkan basis kognisi,
tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan
masyarakat yang damai dan sejahtera.41 Fakta lain membuktikan bahwa untuk
mengembangkan gerakan deradikalisasi khususnya di kalangan perguruan tinggi
memang sangat rumit. Tantangannya bukan hanya dari mahasiswa yang sudah
menjadi eksponen gerakan Islam radikal, akan tetapi juga dosen-dosen di
Perguruan Tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa ideologi radikalisme ini
merupakan ideologi yang sangat kuat tertanam di dalam diri seseorang. Ketika
seseorang sudah masuk di dalamnya, maka akan sangat sulit keluar. Yang mungkin
adalah menjadi semakin kuat dan bertambah kuat.
Perguruan
tinggi adalah lembaga strategis untuk mencetak kader-kader
bangsa di masa depan. Posisi inilah yang disadari betul oleh mereka kaum
radikalis itu. Maka, rekrutmen yang besar-besaran dilakukan justru di kampus.
Melalui rekrutmen terhadap anak-anak mahasiswa yang pintar, maka mereka akan
memperoleh kader militan dan sekaligus juga calon pemimpin di masa yang
akan datang. Melihat realitas empiris seperti ini, maka pantaslah jika gerakan
deradikalisasi tersebut justru diarahkan ke Perguruan Tinggi. Harus disadari
bahwa lembaga pendidikan tinggi merupakan institusi yang sangat strategis ke
depan terkait dengan kepemimpinan bangsa. Maka menurut Nur Syam harus
dibentengi secara memadai terhadap para mahasiswa agar tidak memasuki kawasan
yang seperti itu
D.
Mencari Format Ideal Pendidikan Islam
Inklusif-Multikultural
Sebagaimana
diketahui bahwa praktik dan proses pendidikan terutama yang
berlangsung di lembaga pendidikan mempunyai peran dalam membentuk watak
dan perilaku setiap peserta didik. Karena itu, setiap proses pembelajaran,
terlebih
pendidikan agama (Islam) seharusnya mempertimbangkan perlunya meng-insert
civic values dalam kegiatan pembelajaran sehingga mampu mencetak output
yang
mempunyai kesadaran multikultural dan menerapkan dalam kehidupan seharihari.
Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat dalam
proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga mendukung
terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian
adalah faktor kurikulum, pendidik, dan strategi pembelajaran yang digunakan
pendidik. Ini bukan berarti bahwa faktor lain kurang penting, namun ketiga hal
tersebut yang agaknya menempati prioritas. Perumusan
kurikulum pendidikan Islam yang bermuatan toleransi merupakan langkah mendesak
yang harus dilakukan. Sebab, dewasa ini eskalasi kekerasan berbasis agama kian
meningkat. Keberadaan kurikulum pendidikan Islam bermuatan nilai-nilai
toleransi menjadi komponen yang penting lantaran menjadi pedoman bagi para
pendidik dalam menyampaikan materi-materi tentang ajaran Islam yang menghargai
keragaman dan perbedaan.
Bertolak
dari perspektif tersebut, maka dari segi kurikulum, sejak dini
peserta didik harus diajarkan dan dibiasakan tidak hanya dengan materi
pelajaran
yang bersifat normatif-doktrinal-deduktif yang tidak ada hubungannya dengan
konteks budaya, namun juga materi yang bersifat historis-empiris-induktif. ini
mengindikasikan perlunya perimbangan antara materi yang berupa teks dan
konteks. Bahwa teks berisi ajaran normatif yang masih bersifat umum, sementara
konteks berupa realitas empirik-faktual yang bersifat partikular. Persoalan
seringkali muncul justru ketika teks berhadapan dengan realitas partikular yang
heterogen tersebut. Karena itu, materi pelajaran justru harus berisi realitas
yang dihadapi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu,
meskipun materi yang diberikan memuat teks-teks normatif, namun ia juga harus
berisikan kasus-kasus konkrit di masyarakat sehingga anak sadar bahwa ia hidup
dalam situasi nyata yang penuh perbedaan.
Dalam
rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa
materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa
multikultural, antara lain:
1.
materi
al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain
ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat
memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang
berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif
pada peserta didik, yaitu 1) Materi yang berhubungan
dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 148). 2) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi
damai dalam hubungan antar umat beragama (Q.S. Al-Mumtahanah [60]: 8-9). 3)
Materi yang
berhubungan dengan keadilan dan persamaan (Q.S. An-Nisa’ [4]: 135).
2.
materi
fikih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan).
Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah
dicontohkan pada zaman Nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada
zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat
Madinah yang multietnis, multikultur, dan multiagama. Keadaan masyarakat
Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga
multietnis, multikultur, dan multiagama.
3.
materi
akhlak yang memfokuskan kajiannya pada perilaku baikburuk terhadap Allah,
Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi
peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung
pada akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam
al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya
sendi-sendi moral. Agar pendidikan agama bernuansa multikultural ini bisa
efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan
metode mengajar yang variatif, tidak monoton, dan yang lebih penting, guru
agama Islam juga perlu memberi keteladanan.
4.
materi
SKI, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat
dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika
membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah
yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan
atas nilai pluralisme dan toleransi.
Setelah
aspek kurikulum, sosok pendidik yang berparadigma inklusifmultikultural juga
perlu ditekankan dalam proses pembelajaran agama di sekolah. Sebab, sebaik apa
pun materi yang telah diprogramkan dalam kurikulum, jika tidak dipahami dan
disampaikan oleh pendidik yang kompeten, maka tidak
akan fungsional. Untuk itu, penyiapan tenaga kependidikan, dalam hal ini guru
pendidikan agama, yang mempunyai paradigma pendidikan inklusif-multikultural
harus dilakukan.
Dalam
perspektif Ahmad Asroni, ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menghasilkan
pendidik yang inklusif-multikulturalis.:
1.
menyelenggarakan
berbagai training, workshop, seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang
berwawasan multikultural kepada para pendidik.
2.
menyelenggarakan
dialog keagamaan dengan pendidik agama, pemuka, atau umat beragama lainnya. Dengan
demikian, para pendidik agama Islam dan pendidik agama lainnya dapat berbaur
dan mengenal satu sama lain, sehingga pada gilirannya akan melahirkan sikap
apresiatif dan toleransi terhadap agama lain.
3.
memperkenalkan
bacaanbacaan atau berbagai referensi yang bernuansa pendidikan multikultural
sejak dini kepada para pendidik.
Guru
dan sekolah memegang peranan penting dalam mengimplementasikan
nilai-nilai keberagamaan yang inklusif dan moderat di sekolah. Apabila guru
mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inklusif dan moderat,
maka dia juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai
keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah.
Peran guru dalam hal ini meliputi:
1.
seorang
guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam
sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif.
2.
guru/dosen
seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu
yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003),
maka seorang
guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap
peristiwa tersebut.
3.
guru/dosen
seharusnya menjelaskan bahwa inti
dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat
manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu
yang dilarang oleh agama.
4.
guru/dosen
mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya,
etnis, dan agama (aliran)
Selain
guru, sekolah juga memegang peranan penting dalam membangun
lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran. Langkah-langkah yang dapat
ditempuh antara lain;
1.
ekolah sebaiknya
membuat dan menerapkan undang-undang lokal, yaitu undang-undang sekolah yang
diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu.
Dalam undang-undang sekolah tersebut, tentunya, salah
satu poin penting yang tercantum adalah adanya larangan terhadap segala bentuk diskriminasi
agama di sekolah tersebut
2.
untuk
membangun rasa saling pengertian sejak dini antara siswa-siswa yang mempunyai
keyakinan berbeda, maka sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog
antariman dengan bimbingan guru-guru dalam sekolah tersebut. Dialog antariman
semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif agar siswa terbiasa melakukan
dialog dengan penganut agama yang berbeda
3.
hal yang
paling penting dalam penerapan pendidikan multikultural yaitu kurikulum dan buku-buku
pelajaran yang dipakai, dan diterapkan di sekolah. Pada intinya, kurikulum
pendidikan multikultural adalah kurikulum yang memuat nilai-nilai pluralisme
dan toleransi keberagamaan. Begitu pula buku-buku, terutama buku-buku agama
yang dipakai di sekolah, sebaiknya adalah buku-buku yang dapat membangun wacana
peserta didik tentang pemahaman keberagamaan yang inklusif dan moderat.
Akhirnya,
strategi pembelajaran yang digunakan guru mempunyai peran
penting dalam membentuk sikap dan perilaku peserta didik dalam konteks
inklusifmultikultural. Tanpa adanya metode dan media yang bagus, materi pembelajaran
sebagus apapun akan sulit dicerna dengan baik oleh peserta didik. Pendidik
dapat membuat metode dan media pembelajaran pendidikan agama Islam sesuai
dengan kebutuhan serta kondisi objektif peserta didiknya. Dalam konteks ini,
pendidik dituntut sekreatif mungkin untuk mendesain serta menggunakan metode
dan media pembelajaran yang tepat, sehingga dapat memotivasi peserta didik
untuk menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai toleransi ke dalam
kehidupan konkrit sehari-hari.
Pendidik
agama Islam tidak boleh terpaku pada satu metode saja, namun
harus dapat mengelaborasi berbagai metode seperti ceramah, diskusi, field
trip atau studi banding, dan lain-lain. Peserta didik misalnya dapat diajak
mengunjungi
rumah ibadah dan berdialog dengan pengurus rumah ibadah atau jemaat. Pendidik
(dan lembaga pendidikan) juga dapat mengagendakan untuk mengundang seorang
atau kelompok minoritas agama untuk memberikan ceramah dan berdiskusi
dengan peserta didik. Dengan begitu, peserta didik mendengar, berdiskusi, dan
sharing pengalaman tentang apa saja yang mereka rasakan selama ini
sebagai kaum minoritas. Pasca mendengar testimoni kaum minoritas, dalam diri
peserta didik diharapkan tumbuh sikap apresiatif dan empatik terhadap kaum
minoritas, sehingga mereka dapat menerima serta menempatkan kaum minoritas
secara terhormat dan sederajat seperti halnya kelompok masyarakat yang lain.
Sementara
terkait media pembelajaran, pendidik agama Islam misalnya dapat
memutar film dan membuat gambar, poster, komik, dan sebagainya yang memuat
nilai-nilai toleransi beragama. Di era teknologi informasi yang berkembang
sangat
pesat belakangan ini, kiranya tidak sulit bagi pendidik agama Islam untuk
mencari
dan membuat media bermuatan nilai-nilai toleransi yang bagus dan menarik.
Film-film
berkonten toleransi saat ini banyak beredar di masyarakat. Salah
satunya adalah film “Mata Tertutup” karya Garin Nugroho yang diproduksi oleh
Maarif Institute dan dirilis pada tahun 2011. Film ini dimaksud sebagai
propaganda antikekerasan dan antifundamentalisme. Saat ini Maarif Institute
tengah gencar melakukan road show dan diskusi film “Mata Tertutup” di
sejumlah kota di Indonesia. Sasaran program ini ditujukan kepada siswa dan
mahasiswa. Sekolah dan perguruan tinggi dapat menjalin kerjasama dengan Maarif
Institute untuk mengadakan program road show dan diskusi “Mata
Tertutup”. Dengan menonton film-film berkonten toleransi, peserta didik ke
depannya diharapkan memiliki sikap toleransi dan menghargai kebhinnekaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
pendidikan
Islam Multikultural adalah pendidikan agama yang bernafaskan perdamaian, memiliki
kepekaan terhadap realitas sosial, lebih mengutamakan keselamatan sosial, serta
dilandasi dengan nilai-nilai persatuan dan keadilan seperti yang terkandung
dalam al-Qur’an dan hadis sehingga peserta didik mampu menerima, mengakui dan
menghargai perbedaan orang lain.
2.
radikalisme
merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama,
yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud
penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
3.
pendidikan
agama (Islam) sebagai media penyadaran umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan
pola keberagamaan berbasis inklusivisme, pluralis dan multikultural, sehingga
pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat tumbuh pemahaman keagamaan yang
toleran, inklusif dan berwawasan multikultur.
4.
Format
ideal yang dapat dilakukan melalui pendidikan islam multikultural adalah
sinergi dan saling kesinambungan antara kurikulum, guru dan sekolah sehingga
ketiganya dapat bersinergi dan saling mendukung untuk mencegah radikalisme yang
biasa disebut deradikalisasi.
B.
Saran
Upaya yang
deradikalisasi yang paling penting
dilakukan adalah melakukan reorientasi visi pendidikan agama (Islam) yang
berbasis eksklusif-monolitis ke arah penguatan visi inklusif-multikulturalis.
Inilah yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak
menyumbangkan benih-benih konflik antar agama dan aksi-aksi radikalisme atas
nama agama dapat diminimalisir untuk masa depan Indonesia yang lebih kondusif
tentunya.
DAFTAR PUSTAKA
Sirry, M. 2003. Membendung
Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern. Jakarta:
Erlangga
Baidhawy, Z. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.
Jakarta: Erlangga
Muliadi, E. 2012. Urgensi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah. Jurnal
Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Susanto, E. 2006.
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural (Upaya Strategis
Menghindari Radikalisme. KARSA,
IX
Yaqin, M.A. 2005. Pendidikan
Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Posting Komentar untuk "Makalah Pendidikan Islam Inklusif - Multikultural dan Radikalisme"